Minggu, 20 Maret 2011

Waq’at al-Jamal (Insiden Unta) 36H/656M


Oleh: Sulham Akbar, Aep Jamaluddin dan Hadi Nur Ramadhan

Kisah SingkatTerjadinya Perang Jamal.[1]
Ketika Amirulmukminin Utsman bin Affan terbunuh, keesokan harinya, orang-orang mendatangi Ali bin Abi Tholib untuk membaiatnya menjadi khalifah. akan tetapi Ali menolaknya. Ali berkata, “Sampai berkumpulnya manusia. Kemudian berkumpullah orang-orang, diantaranya Thalhah dan Zubair. Mereka membaiat Ali sebagai Khalifah.
Diriwayatkan bahwa Thalhah dan Az-Zubair meminta izin dari Ali untuk pergi umrah. dan ketika itu juga istri-istri Rosulullah -Saw- baru menjalankan umrah dan kemudian tinggal di Mekkah karena terjadinya fitnah sampai terbunuhnya Utsman -rodhiallahu 'anhu-. kemudian Thalhah dan Az-Zubair menemui 'Aisyah untuk dimintai pendapat mengenai hak atas darah Utsman. maka 'Aisyah setuju untuk menuntut hak pembalasan bagi para pembunuh Utsman.
Kemudian datang Ya'la bin Umayyah dari Yaman ke Mekkah, dia adalah orang yang diangkat Utsman sebagai wakilnya di Yaman. dan mereka sepakat untuk pergi ke Basrah guna menuntut pembalasan atas para pembunuh Utsman. 'Aisyah, Thalhah, Az-Zubair dan Ya'la dan 1000 pengadara kuda yang lain pergi ke Basrah. dan menyusul mereka 2000 orang lagi. ‘Aisyah menaiki onta yang diberi nama Askar yang diletakkan di atasnya seperti rumah-rumah.
Suatu ketika mereka berhenti di salah satu sumber air milik Bani 'Amir. kemudian 'Aisyah mendengar lolongan suara anjing. 'Aisyah bertanya kepada salah seorang dari mereka : telah sampai manakah kita? maka dijawabnya : kita telah sampai "Jauab". setelah mendengarnya 'Aisyah berkata : lebih baik kita kembali. orang-orang berkata : bagaimana anda kembali sedangkan menyetujui utuk pergi ke Basrah. dan semua orang berharap agar anda dapat menyelesaikan masalah yang terjadi di antara kita.
'Aisyah tetap bersikeras meminta semuanya untuk kembali. ditanya kenapa ingin kembali? 'Aisyah menjawab : Rosulullah -sholallahu 'alaihi wasallam- pernah menyampaikan kepada para istrinya bahwa salah satu dari kita akan pergi dan menjadi peserta dalam perang jamal. keluar dan sebagai tandanya adalah lolongan suara anjing disumur "jauab" yang akan terbunuh dikanan dan kirinya banyak orang. Diriwayatkan bahwa Ali telah pergi bersama 900 penunggang kuda lainnya. Ali ingin meminta pertanggung jawaban Thalhah dan Az-Zubair karena mereka telah membaiatnya akan tetapi sekarang malah pergi tanpa persetujuan darinya.
Diriwayatkan sebelum dimulainya peperangan, Ali menemui Az-Zubair dan berkata : aku bersumpah kepada Allah, apakah kamu tidak ingat ketika Rasulullah -sholallahu 'alaihi wasallam- berkata kepadamu bahwa suatu ketika kamu akan memerangi Ali sedangkan kamu dalam posisi yang salah (dholim). Az-Zubair berkata : aku lupa sejak dikatakan seperti itu. maka aku sekarang tidak akan memerangimu. Az-Zubair kemudian pergi dan tidak ikut dalam peperangan.
Abu Bakrah pernah ditanya : kenapa anda tidak ikut pergi ketika orang pada pergi? beliau berkata : aku pernah mendengar Rosulullah -sholallahu 'alaihi wasallam- bersabda : "akan keluar sekelompok kaum yang akan binasa yang pemimpinnya adalah perempuan disurga." Hudzaifah bin Al-Yaman berkata : bagaimana kalian suatu ketika akan membiarkan orang-orang diantara kalian akan saling membunuh dalam dua kelompok? orang-orang bertanya : wahai abu abdillah, apa saran anda jika kami ada ketika itu? Hudzifah berkata : lihatlah kepada kelompok orang yang membela Ali, karena sesungguhnya mereka diatas kebenaran.[2]
                         
Penulisan Sejarah versi Ahlussunnah wal Jama’ah
Ali Radiyallahu ‘anhu dibai’at sebagai khalifah pada pertengahan bulan Zulhijjah tahun 33 Hijriyah, di hari terbunuhnya Utsman ra. Ada sejumlah shahabat yang terlambat membaiatnya, diantara mereka ialah Sa’ad bin Abi Waqqas, Usamah bin Zaid, Mughirah bin Syu’bah, Nu’man bin Basyir dan Hasan bin Tsabit. Hari-hari Khilafahnya merupakan mata rantai fitnah, peperangan dan pemberontakan. Diawali dengan perang unta, kemudian perang siffin, berbagai pertentangan yang timbul antara jumhur kaum Muslimin dan Mu’awiyah, lalu Fitnah kaum Khawarij yang berakhir dengan kejahatan mereka yang terburuk, yaitu membunuh Ali ra.
Tidak diragukan lagi bahwa pembunuhan Utsman dilakukan oleh kaum pemberontak yang didalangi oleh kaum Yahudi. Wajar jika para pembunuh itu harus menanggung segala akibat tindakan kriminal mereka dan tunduk kepada hukum qishos yang syar’i. Seluruh kaum muslimin terutaa Ali ra., berusaha melakukan qishos terhadap para pembunuh Utsman. Hanya saja Ali meminta kepada mereka yang terburu-buru agar menunggu barang sebentar sampai segala urusan beres. Atau sampai ia dapat mewujudkan apa yang dinilainya sebagai pendahuluan yang bersifat daruri. Menjamin terlaksananya qishos, dan menjauhkan sebab-sebab timbulnya fitnah.
Para ahli sejarah sepakat bahawa Ali membenci para kaum pemberontak yang telah membunuh Utsman. Beliau selalu menunggu-nunggu kesempatan untuk bisa menggulung mereka. Bahkan ia sangat berharap dapat melakukan secepat mungkin untuk mengambil hak Allah dari mereka (qisohs). Tetapi kenyataanya, masalah tersebut tidak berjalan sebagaimana yang diinginkan. Singkat peristiwa, Tholhah dan Zubair bersama sejumlah Shahabat masing-masing berpendapat agar Ali segera menangkap para pembunuh dan melaksanakan Qishos terhadap mereka. Guna menjamin keselamatan pelaksanaanya dan menghindarkan fitnah, mereka menawarkan kepada Ali untuk melakukan tugas tersebut dan meminta agar Ali mendatangkan pasukan dari Bashrah dan Kuffah untuk mendukungnya. Tetapi Ali meminta agar mereka mununggu sampai ia menyusun program yang baik untuk melaksanakan hal tersebut.
Hal yang terjadi setelah itu ialah bahwa masing-masing dari kedua belah pihak melaksanakan ijtihadnya dalam menggunakan cara yang terbaik untuk menuntut darah Utsman. Maka berkumpullah orang-orang yang berpendapat harus segera melaksanakan qishos di Bahrah. Diantara mereka terdapa ‘Aisah Ummul Mukminin, Tholhah, Zubair, dan sejumlah besar sahabat. Tujuan mereka tiada lain untuk mengingatkan para penduduk Basrah akan perlunya kerja sama dalam mengepung para pembunuh Utsman dan meuntut darahnya dari mereka.
Saat itu pasukan dari Ali pun berangkat kesana guna melakukan ishlah dan menyatukan kalimat. Maka semua pihak berangkat ke tempat tersebut dan tidak ada seorangpun diantara mereka yang punya maksud untuk memulai peperangan atau menyulut api fitnah. Al-Qa’qa bin Amer sebagai utusan dari pihak Ali ra menemui Aisyah ra seraya bertanya: “ Wahai ibunda apakah gerangan yang mendorong kedatang ibunda ke negeri ini?. Aisyah menjawab  “ Ishlah diantara manusia”. Al-Qa’da menemui  Thalhah dan Zubair dan menyampaikan pertanyaan yang sama. Keduanya menjawab; “Kami juga demikian. kami tidak datang ketempat ini kecuali untuk melakukan ishlah diantra manusia”. Kemudian semua pihak berbicara dan berunding yang akhirnya sepakat untuk menyerahkan urusan ini kepada Ali dengan syarat supaya ia tidak segan-segan mengerahkan segenap upaya untuk menegakkan hukum Allah atas para pembunuh Utsman, jika ia telah dapat melakukannya.[3]
Kemudian Al-Qa’da kembali kepada Ali menyampaikan kesepakatan yang telah dicapai dan keinginan orang-orang untuk berdamai. Lalu Ali berpidato  di hadapan khalayak ramai seraya memuji Allah atas nikmat perdmaian dan kesepakatan yang telah dicapai. Selanjutnya Ali mengumumkan bahwa besok ia akan segera bertolak. Tetapi apa yang terjadi setelah itu?
Tidak lama setelah Ali mengumumkan terjadinya perdamaian, kesepakatan dan rencana untuk berangkat esok hari, malam itu pula para gembong fitnah pun mengadakan pertemuan. Diantara mereka terdpat Al Asytar An Nakha’i, syuraih bin Aufa, Abdullah bin saba’ yang terkenal dengan nama Ibnu Sauda’, Salim bin Tsalabah, dan Ghulam bin al-Haitsam. Alhamdulillah tak seorangpun dari kalangan sahabat yang termasuk dari kelompok mereka, sebagai mana dituturkan oleh Ibnu Katsir.
Para gembong fitnah itu membahas tentang bahaya perdamaian dan kesepakatan tersebut bagi mereka. Kesepakatan para sahabat itu merupakan bahaya dan ancaman bagi mereka. Salah seorang dari mereka mengusulkan “ jika demikian halnya, kita segera bunuh saja Ali seperti halnya Utsman”. Tetapi Abdullah bin saba’ mengecam dan menentang pendapat ini seraya berkata kepada mereka” sesunguhnya keberhasilan kalian terletak pada pergaulan kalian dengan masyarakat. Jika kalian bertemu dengan orang-orang  maka kobarkanlah peperangan dan pertempuran diantara mereka. Janganlah kalian membiarkan mereka bersatu. Orang yang ada disekitar kalian akan enggan melakuakan pertempuran demi membela dirinya”. Setelah menyepakati konspirasi ini merekapun berpencar.
Pada hari kedua, Ali berangkat kemudian diikuti oleh Thalhah dan Zubair. Sementara itu perdamaian dan kesepakatan telah dikukuhkan. Orang-orang pun menikmati malam terbaiknya, kecuali para pembunuh Utsman yang gelisah dimalam itu. Sementara Abdullah bin saba’ dan kawan-kawannya telah sepakat untuk mengorbarkan peperangan diujung malam dan menjebak orang-orang ke dalam peperangan tersebut apapun yang terjadi.
Orang-orang yang akan melakukan konspirasi jahat ini bergerak sebelum fajar jumlah mereka hampir 2000 orang. Masing-masing kelompok bergerak mendatangi kerabat mereka lalu melakukan serbuan mendadak dengan pedang-pedang mereka. Kemudian masing-masing kelompok bangkit untuk membela kaumnya. Akhirnya orang-orang bangun dari tidur mereka dengan membawa pedang seraya berkata” para penduduk Kuffah menyerang kita pada malam hari dan berkhianat kepada kita”. Mereka mengira tindakan tersebut adalah rencana busuk yang dilakukan Ali  ra. Setelah mendengar berita tentang hal ini, Ali berkata” apa yang terjadi pada masyarakat” yang berda disekitarnya berteriak “ penduduk Basrah menyerang kami dimalam hari dan berkhianat terhadap  kami” kemudian masing-masing kelompok mengambil pedang, memakai baju perang dan menunggang kuda tanpa mengetahui hakekat sebenarnya. Karena itu wajar jika kemudian secara spontan terjadi peperangan dan pertempuran.
Imam Baihaqi meriwayatkan secara bersambung, ia berkata” telah menceritakan kepada kami Abu Bakar Muhammad bin al-hasan al Qadhi, ia meriwayatkan  dengan sanadnya  dari harb bin al Aswad ad Da’uli, ia berkata” Ketika Ali dan kawan-kawannya mendekati Thalhah dan zubair dan barisan pun telah saling mendekat maka keluarlah Ali seraya menunggangn baghal Rasulullah Saw, kemudian berseru “ panggilkan saya Zubair bin Awwam”.  Setelah zubai dipanggil datanglah ia samapai tengkuk kedua tunggangannya saling bersentuhan, Ali berkata”  wahai Zubair, demi Allah, apakah engkau ingat ketika Rasulullah Saw melewatimu sedangkan kami berada ditempat ini dan itu?”. kemudian beliau bertanya” wahai zubair apakah kamu mencintai Ali?. Lalu kamu menjawab” mengapa aku tidak mencintai anak bibikku  dan anak pamanku dan bahakan seagama denganku?” kemudian nabi Saw bersabda “ wahai zubair demi Allah suatu saat engkau pasti akan memeranginya dan menzholiminya”.
Zubair menjawab” Demi Allah, aku telah lupa akan peristiwa tersebut semenjaka aku mendengarnya dari Rasulullah. Tetapi sekarang baru terigat lagi. Demi Allah aku tidak akan memerangimu untuk selama-lamanya”.  Kemudian Zubair kembali dengan menunggang kendaraaannya  membelah barisan.
Ketika onta Aisyah ra jatuh ketanah kemudian sekedupnya dibawa jauh dari medan pertempuran, Ali datang kepadanya seraya mengucapkan salam dan menanyakan keadaanya seraya berkata”  bagaimana keadaanmu wahai ibunda?” Aisyah menjawab” baik “.  Ali berekata “semoga Allah mengampunimu”. Kemudian orang-orang dan para sahabat datang seraya mengucapkan salam kepadanya dan menanyakan keselamatannya.
Imam Ahmad dalam Musnadnya meriwayatkan dari Ubaidillah dari Aisyah, “Ketika Rasulllah Saw sakit, beliau giliran dirumah Maimunah. Beliau minta izin kepada istri-istrinya agar dirawat dirumahku. Merekapun mengizinkan. Maka beliau berjalan dipapah oleh Ibnu abbas berkata kepada Ubaidillah, “Tahukah kamu siapa laki-laki yang bersamaku memapah Rasulullah? Itu adalah Ali, tetapi Aisyah tidak suka kepadanya”.
Apakah gerangan penyebab ketidaksukaan Aisyah kepada Ali sehingga ia merasa tidak senang menyebut Ali dalam kebaikan sekalipun hanya dalam memapah Rasulullah bersama Ibnu Abbas? Barangkali ini ada kaitanya dengan apa yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dalam kitab Shahihnya ketika memaparkan hadits al ifki atau berita fitnah terhadap Aisyah. Waktu itu Rasulullah meminta pandangan kepada beberapa orang dekatnya, termasuk kepada Ali bin Abi Thalib dan Usamah bin Zaid, tentang sikap yang sebaiknya diambil terhadap Aisyah. Saat itu Usamah mengatakan” tentang keluargamu, kami tidak mengetahuinya selain kebaikan”.  Sedang Ali memberikan jawaban atas pertanyaan Rasulullah dengan mengatakan “ wahai Rasulullah tidaklah Allah akan menyusahkanmu sedang wanita selain dia masih banyak.  Dan tanyakan kepada barirah mungkin ia dapat memberi keterangan yang jujur kepadamu “.  Jawaban Ali kepada Rasulullah ini nampaknya melukai perasaan Aisyah . seakan-akan Ali menyetujui isu yang sedang beredar ditengah masyarakat bahwa Aisyah telah menyeleweng dari Rasulullah  saw. Atau paling tidak Ali tidak menunjukkan pembelaannya kepada Aisyah disaat mana posisinya beserta Rasulullah benar-benar tertekan dengan berita fitnah.
Kata-kata Ali kepada Rasulullah mengenai penilaiannya atas Aisyah ini juga nampaknya diplintir kalangan penguasa Bany Umayyah di kemudian hari sebagai alat propaganda dalam menjatuhkan kredibilitas dan aksebilitas Ali  dikalangan para pengikutnya. Sebagaimana pengakuan amam al-Zuhri, tokoh hadits dari generasi tabi’in yang sangat terkemuka, bahwa ia pernah dibujuk oleh al-Walid bin Abdul Malik bin marwan  untuk menyetujui bahwa Ali termasuk orang yang memfitnah Aisyah. Tetapi Al Zuhri dengan tegas menolak dan ia mengemukakan pengakuaan Aisyah sendiri bahwa Ali tidaklah termasuk orang yang memfitnahnya yang dikecam Allah dalam al-Qur’an surat Annur ayat 11 sebagai” kelompok persengkokolan”, Ali hanyalah tidak memberi sikap pembelaan kepada Aisyah, bukan ikut memfitnahnya.[4] 
Mungkin atas dasar itu juga Aisyah dicurigai tidak mau membela Ali ketiaka ia mendengar seseorang menghina Ali dan Ammar dan Aisyah hanya membela Ammar. Alasan lain yang menjadi penyebab retaknya hubungan Ali dan Aisyah yang sering disebut-sebut para peneliti adalah bahwa Aisyah sangat cemburu kepada Khadijah. Kecemburuan Aisyah ini karena nabi sering menyebut dan memujinya di hadapan Aisyah. karena itu Aisyah melampiaskan kecemburuannya kepada Fatimah putri  nabi dari khadijah. ketika Ali menikah dengan Fatimah dan perhatian Rasul sangat besar kepada mereka berdua dan kecemburuan Aisyah pun ditumpahkan kepada mereka berdua yaitu Fatimah dan Ali. Disamping itu dikemukakan oleh penulis suara keadilan terkait perseteruan tersebut yaitu posisi Ali yang sangat dicintai dan di hormati oleh bani Hasyim dan para pendukung setianya. Dan dipandang yang palling berhak memegang pemerintahan sepeninggal Rasulullah. Sementara Aisyah sangat menginginkan kekhalifahan setelah Abu Bakar dan Umar dapat kembali kekeluarganya dari bani ta’im, yaitu Thalhah atau Zubair.[5]
Berkenaan dengan peristiwa dipapahnya Rasulullah ketika sakit menuju Rumah Aisyah oleh Ibnu Abbas dan Ali dan keengenan Aisyah untuk menyebutkan nama Ali dalam periwayatan Hadits tersebut. Diriwayatkan pula dalam al jamius shahih al-Bukhari (kitab al wudhu’  no 191) tampa ada tambahan perkataan ibnu Abbas,” tetapi Aisyah tidak suka hati kepadanya” tambahan perkata ini memang teras bias dengan pesan bahwa  Aisyah benci dan dendam terhadap khalifah Ali. Oleh karena itu tambahan perkataan pada riwayat hadits diatas tidak diambil oleh Imam Al Bukhari dalam shahihnya melainkan mencukupkan kata-kata Ibnu Abbas”  laki-laki yang seorang lagi yaitu Ali”. Mengenai riwayat Imam Ahmad bahwa Aisyah membiarkan seseorang mencela Ali dan membela Ammar, hadits inipun diragukan  keshahihannya mengingat pada sanad tersebut ada Rawi Habib bin Abi Tsabit yang meriwayatkan  dari Atha’ bin Yasir. Meskipun Habib dinilai tsiqot dan tsabit oleh sebagian Ulama Ahlul Jarhi wat Ta’dil,  namun menurut Ibnu Huzaimah ia seorang mudallis. Menurut Ibnu Qaththan Hadits Habib dari Atha’ tidak terpelihara. Dan menurut al Ukaili haditsnya dari Atha’bin   yasar tidak ada mutabi’nya.
Jadi siikap Aisyah membiarkan Ali dicaci orang tidaklah ada landasanya yang kuat. Sedang mengenai hadits Amar sebagai orang yang suka memilih keputusan yang paling bijak, diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad pada musnadnya pad no 4028 dengan sanad yang shahih dari Abdullah bin Masud.
Demikian pula tuduhan-tuduhan bahwa Aisyah menyimpan dendam kesumat kepada Ali dan Fatimah atas dasar kecemburuaanya kepada Khadijah adalah bualan-bualan kaum Syi’ah Rafidhah yang tidak berdasar. Pendek kata, tidak ada data yang akurat untuk dijadikan alasan bahwa perselisihan Aisyah dengan Ali pada masalah tuntutan qishash atas pembunuhan Usman dilatar belakangangi sentimen pribadi, memang tidak dapat dipungkiri adanya berita-berita sejarah telah menceritakan apa adanya kerenggangan hubungan personal antara Ali dengan Aisyah jauh sebelum peristiwa terbunuhnya Utsman yang disebabkan perselisihan pendapat antara Abu Bakar dengan Fatimah putri Rasulullah mengenai tanah Fadak yang diwakafkan untuk kaum muslimin, dan mengenai saran Ali kepada Rasulullah ketika dimintai pendapatnya tentang tuduhan orang orang kepada Aisyah pada peristiwa haditsul al-ifki. Mungkin saja kekurang harmonisan hubungan ini telah ikut mempengaruhi keberpihakan Aisyah kepada kelompok oposisi.
Tetapi untuk mengambil kesimpulan bahwa sentimen pribadi di antara mereka itu merupakan alasan utama Aisyah menentang Ali sungguh terlalu naif. Sebab tidaklah mungkin Aisyah dengan kedudukanya sebagai pribadi yang agung istri Nabi dan Ibu bagi kaum Mukminin akan menempuh cara tercela hanya karena sakit hati.  Lagi pula tidak mungkin beliau mendapat dukungan yang cukup besar dari beberapa suku Arab jika tidak ada alasan logis yang lebih kuat dan lebih menyakinkan mereka dari sekedar memenuhi dendam kesumat pribadi yang tidak benar.[6]
..........Pada subuh itu pasukan Aisyah melaporkan tentang situasi dan menyarankan agar ia naik unta yang tertutup sehingga diharapkan suasananya bisa diredakan. Tetapi yang terjadi sebaliknya, penduduk  Basrah mengira Aisyah datang kemedan perang untuk memerangi mereka. Sementara itu pertempuran berlangsung Ali memanggil Thalhah dan Zubair dan mengajak mereka berbicara.” Bukankah kalian sudah membaiat saya?”  Tanya Ali setelah mereka berdua datanng menghadapnya. “ kami membaiat anda terpaksa, dan untuk itu anda tidak lebih berhak dari kami,” jawab mereka. Ali seperti tak sadar sejenak,  kemudian tersentak” bukankah saya saudara kalian seagama, darah saya haram bagai kalian dan darah kalaian haram bagi saya? Adakah hal yang akan membuat darahku menjadi halal?”  yang sedang menantikan adalah darah Utsman” kata Thalhah..... [7]

Jawaban:                                                                                                                                     
..........Padahal dalam sejarah dikemukakan bahwa ‘Aisyah ra. Keluar bersama Tholhah dan Zubai bin Al-Awam ke Basharah dalam rangka untuk menegakkan hukum Qishosh terhadap para pembunuh Utsman bin Affan. Hanya saja Ali bin Abi Thalib meminta penundaan untuk menunaikan permintaan qishos tersebut. Ini semua mereka lakukan berdasarkan ijtihad.
Tawaran Ali kepada Aisya tersebut semata-mata hanya untuk menyatukan cara pandang bahwa hukum qishos baru bisa ditegakkan setelah keadaan Negara tenang. Beliaupun sangat mengetahui bahwa ‘Aisyah ra. Bersama Thalhah dan Zubair datang ke Bashrah tidak dalam rangka memberontak kekhalifahannya. Karena mereka hampir membentuk kesepakatan bersama. Akan tetapi melihat keadaan seperti ini, beberapa kaum Saba’iyah (pengikut faham Abdullah bin Saba) mulai memancing konflik diantara pasukan ‘Aisyah dan pasukan Ali. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa salah satu pasukan telah berkhianat. Maka terjadilah perang jamal.
Hubungan antara Ali dan ‘Aisyah tak seburuk apa yang dikatakan oleh Syi’ah. At-Thabari meriwayatkan, bahwa disaat perang jamal, Sayyidina Ali pernah berkata, “ Wahai kaum Muslimin! Dia (Aisyah) adalah seorang yang jujur dan demi Allah dia adalah orang yang baik. Sesungguhnya tidak ada diantara kami dengan dia kecuali yang demikian itu. Dan dia adalah istri Nabi kalian di dunia dan di Akhirat. Ummul Mu’minin menerima bahkan memerintahkan kamu Muslimin untuk berbai’at kepada Sayidina Ali bin Abi Thalib.[8] 

Kesimpulan
Perang jamal terjadi sebagai akibat dari perbedaan pendapat orang-orang pada masa itu tentang penuntutan balas atas terbunuhnya Utsman dan pendapat Ali yang lebih mendahulukan untuk menata kembali negara yang telah berpecah setelah terjadinya fitnah.
Para Ulama sepakat bahwa Ali berada pada posisi yang benar. akan tetapi telah banyak riwayat yang meriwayatkan bahwa Aisyah dan para sahabat lainnya yang menentang Ali telah bertaubat setelah itu. dan para ulama melarang kita untuk menyalahkan salah satu dari mereka karena mereka adalah para sahabat Nabi -sholallahu 'alaihi wasallam- dan mereka telah bertaubat. dan karena sulitnya keadaan waktu itu, karena fitnah sedang menyebar diantara mereka. Wallahu A’lam bish-as-Shawwab.
Jakarta, Medio Dzulhijjah 1431.



Maraji’:
1.      .Muhammad Amhazun, Fitnah Kubro, Jakarta:, LP2SI Al-Haramain, terj Daud Rasyid, 1994.
2.      .M Said Ramadhan Al-Buthy, Fiqhu ‘s-Sirah, Dirasat Manhajiah ‘Ilmiah Li Sirati ‘-Mustafa ‘alaihi ‘s-Shalatu wa’s- Shalam, (terj: Aunur Rafiq Shaleh Tamhid)Rabbani Press
3.      .Jeje Zaenuddin Abu Himam,  Akar Konflik Ummat Islam; Sebuah Pelajaran Dari Konflik Politik Pada Zaman Shabat, Bandung ; Persis Pers, Cet ke 1, 2008
4.      Ali Audah, Ali bin Abi Thalib Sampai kepada Hasan dan Husain, Bogor: PT Pustaka Litera Antar Nusa, cet ke-1 , 2003.
5.      Ahmad Quyairi, Mungkinkah Sunnah& Syi’ah Dalam Ukhuwah? Jawaban Atas Buku DR Quraish Shihab (Sunnah-Syi’ah Bergandengan Tangan Mungkinkah), Jawa Timur: Pustaka Sidogiri, cet ke-2, 2008.


[1] . Perang jamal terjadi sebagai akibat dari perbedaan pendapat orang-orang pada masa itu tentang penuntutan balas atas terbunuhnya Utsman dan pendapat Ali yang lebih mendahulukan untuk menata kembali negara yang telah berpecah setelah terjadinya fitnah. Sebelum membahas tentang tragedi jamal, alangkah baiknya kita mengetahui apa yang dikatakan Rosulullah -sholallahu 'alaihi wasallam- jauh hari ketika beliau masih hidup tentang akan terjadinya tragedi itu. Dan para ulama telah banyak menjelaskan tentang hal itu.  Diantaranya sabda Rosulullah -sholallahu 'alaihi wasallam- :
لَا تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَقْتَتِلَ فِئَتَانِ دَعْوَاهُمَا وَاحِدَةٌ Artinya : "Tidaklah terjadi kiamat itu sampai berperangnya dua kelompok besar dan dakwa (seruan) mereka satu." (HR Bukhori dan Muslim). Itulah salah satu tanda kecil kiamat kubro yang diprediksikan Rosulullah -sholallahu 'alaihi wasallam-, bahwa akan terjadi peperangan antara 2 kelompok muslim. dan itu terjadi pada perang jamal dan perang siffin.
[2] . Abul A’la al Maududi, Khilafah dan Kerajaan; Evaluasi Kritis atas Sejarah Pemerintahan Islam, Bandung: Mizan, cet 1, 1984. hal
[3] .M Said Ramadhan Al-Buthy, Fiqhu ‘s-Sirah, Dirasat Manhajiah ‘Ilmiah Li Sirati ‘-Mustafa ‘alaihi ‘s-Shalatu wa’s- Shalam, (terj: Aunur Rafiq Shaleh Tamhid), hal 402 1995 Jakarta: Rabbabni Press
[4] George Jordac, Suara Keadilan dalam Jeje Zaenuddin Abu Himam, Akar Konflik Ummat Islam, Bandung: Persis Pers, Cet ke 1, 2008, hal 111
[5] . Jeje Zaenuddin Abu Himam, Op. Cit., hal 110
[6] . Ibid, hal 110-113.
[7] . Ali Audah, Ali bin Abi Tholib sampai kepada Hasan dan Husain, Bogor: PT Pustaka Litera Antar Nusa, cet ke-1 , 2003, hal274
[8] . Ahmad Quyairi, Mungkinkah Sunnah& Syi’ah Dalam Ukhuwah? Jawaban Atas Buku DR Quraish Shihab (Sunnah-Syi’ah Bergandengan Tangan Mungkinkah), Jawa Timur: Pustaka Sidogiri, cet ke-2, 2008, hal 403-404.

Waq’at al-Jamal (Insiden Unta) 36H/656M

Oleh: Sulham Akbar, Aep Jamaluddin dan Hadi Nur Ramadhan

Kisah SingkatTerjadinya Perang Jamal.[1]
Ketika Amirulmukminin Utsman bin Affan terbunuh, keesokan harinya, orang-orang mendatangi Ali bin Abi Tholib untuk membaiatnya menjadi khalifah. akan tetapi Ali menolaknya. Ali berkata, “Sampai berkumpulnya manusia. Kemudian berkumpullah orang-orang, diantaranya Thalhah dan Zubair. Mereka membaiat Ali sebagai Khalifah.
Diriwayatkan bahwa Thalhah dan Az-Zubair meminta izin dari Ali untuk pergi umrah. dan ketika itu juga istri-istri Rosulullah -Saw- baru menjalankan umrah dan kemudian tinggal di Mekkah karena terjadinya fitnah sampai terbunuhnya Utsman -rodhiallahu 'anhu-. kemudian Thalhah dan Az-Zubair menemui 'Aisyah untuk dimintai pendapat mengenai hak atas darah Utsman. maka 'Aisyah setuju untuk menuntut hak pembalasan bagi para pembunuh Utsman.
Kemudian datang Ya'la bin Umayyah dari Yaman ke Mekkah, dia adalah orang yang diangkat Utsman sebagai wakilnya di Yaman. dan mereka sepakat untuk pergi ke Basrah guna menuntut pembalasan atas para pembunuh Utsman. 'Aisyah, Thalhah, Az-Zubair dan Ya'la dan 1000 pengadara kuda yang lain pergi ke Basrah. dan menyusul mereka 2000 orang lagi. ‘Aisyah menaiki onta yang diberi nama Askar yang diletakkan di atasnya seperti rumah-rumah.
Suatu ketika mereka berhenti di salah satu sumber air milik Bani 'Amir. kemudian 'Aisyah mendengar lolongan suara anjing. 'Aisyah bertanya kepada salah seorang dari mereka : telah sampai manakah kita? maka dijawabnya : kita telah sampai "Jauab". setelah mendengarnya 'Aisyah berkata : lebih baik kita kembali. orang-orang berkata : bagaimana anda kembali sedangkan menyetujui utuk pergi ke Basrah. dan semua orang berharap agar anda dapat menyelesaikan masalah yang terjadi di antara kita.
'Aisyah tetap bersikeras meminta semuanya untuk kembali. ditanya kenapa ingin kembali? 'Aisyah menjawab : Rosulullah -sholallahu 'alaihi wasallam- pernah menyampaikan kepada para istrinya bahwa salah satu dari kita akan pergi dan menjadi peserta dalam perang jamal. keluar dan sebagai tandanya adalah lolongan suara anjing disumur "jauab" yang akan terbunuh dikanan dan kirinya banyak orang. Diriwayatkan bahwa Ali telah pergi bersama 900 penunggang kuda lainnya. Ali ingin meminta pertanggung jawaban Thalhah dan Az-Zubair karena mereka telah membaiatnya akan tetapi sekarang malah pergi tanpa persetujuan darinya.
Diriwayatkan sebelum dimulainya peperangan, Ali menemui Az-Zubair dan berkata : aku bersumpah kepada Allah, apakah kamu tidak ingat ketika Rasulullah -sholallahu 'alaihi wasallam- berkata kepadamu bahwa suatu ketika kamu akan memerangi Ali sedangkan kamu dalam posisi yang salah (dholim). Az-Zubair berkata : aku lupa sejak dikatakan seperti itu. maka aku sekarang tidak akan memerangimu. Az-Zubair kemudian pergi dan tidak ikut dalam peperangan.
Abu Bakrah pernah ditanya : kenapa anda tidak ikut pergi ketika orang pada pergi? beliau berkata : aku pernah mendengar Rosulullah -sholallahu 'alaihi wasallam- bersabda : "akan keluar sekelompok kaum yang akan binasa yang pemimpinnya adalah perempuan disurga." Hudzaifah bin Al-Yaman berkata : bagaimana kalian suatu ketika akan membiarkan orang-orang diantara kalian akan saling membunuh dalam dua kelompok? orang-orang bertanya : wahai abu abdillah, apa saran anda jika kami ada ketika itu? Hudzifah berkata : lihatlah kepada kelompok orang yang membela Ali, karena sesungguhnya mereka diatas kebenaran.[2]
                         
Penulisan Sejarah versi Ahlussunnah wal Jama’ah
Ali Radiyallahu ‘anhu dibai’at sebagai khalifah pada pertengahan bulan Zulhijjah tahun 33 Hijriyah, di hari terbunuhnya Utsman ra. Ada sejumlah shahabat yang terlambat membaiatnya, diantara mereka ialah Sa’ad bin Abi Waqqas, Usamah bin Zaid, Mughirah bin Syu’bah, Nu’man bin Basyir dan Hasan bin Tsabit. Hari-hari Khilafahnya merupakan mata rantai fitnah, peperangan dan pemberontakan. Diawali dengan perang unta, kemudian perang siffin, berbagai pertentangan yang timbul antara jumhur kaum Muslimin dan Mu’awiyah, lalu Fitnah kaum Khawarij yang berakhir dengan kejahatan mereka yang terburuk, yaitu membunuh Ali ra.
Tidak diragukan lagi bahwa pembunuhan Utsman dilakukan oleh kaum pemberontak yang didalangi oleh kaum Yahudi. Wajar jika para pembunuh itu harus menanggung segala akibat tindakan kriminal mereka dan tunduk kepada hukum qishos yang syar’i. Seluruh kaum muslimin terutaa Ali ra., berusaha melakukan qishos terhadap para pembunuh Utsman. Hanya saja Ali meminta kepada mereka yang terburu-buru agar menunggu barang sebentar sampai segala urusan beres. Atau sampai ia dapat mewujudkan apa yang dinilainya sebagai pendahuluan yang bersifat daruri. Menjamin terlaksananya qishos, dan menjauhkan sebab-sebab timbulnya fitnah.
Para ahli sejarah sepakat bahawa Ali membenci para kaum pemberontak yang telah membunuh Utsman. Beliau selalu menunggu-nunggu kesempatan untuk bisa menggulung mereka. Bahkan ia sangat berharap dapat melakukan secepat mungkin untuk mengambil hak Allah dari mereka (qisohs). Tetapi kenyataanya, masalah tersebut tidak berjalan sebagaimana yang diinginkan. Singkat peristiwa, Tholhah dan Zubair bersama sejumlah Shahabat masing-masing berpendapat agar Ali segera menangkap para pembunuh dan melaksanakan Qishos terhadap mereka. Guna menjamin keselamatan pelaksanaanya dan menghindarkan fitnah, mereka menawarkan kepada Ali untuk melakukan tugas tersebut dan meminta agar Ali mendatangkan pasukan dari Bashrah dan Kuffah untuk mendukungnya. Tetapi Ali meminta agar mereka mununggu sampai ia menyusun program yang baik untuk melaksanakan hal tersebut.
Hal yang terjadi setelah itu ialah bahwa masing-masing dari kedua belah pihak melaksanakan ijtihadnya dalam menggunakan cara yang terbaik untuk menuntut darah Utsman. Maka berkumpullah orang-orang yang berpendapat harus segera melaksanakan qishos di Bahrah. Diantara mereka terdapa ‘Aisah Ummul Mukminin, Tholhah, Zubair, dan sejumlah besar sahabat. Tujuan mereka tiada lain untuk mengingatkan para penduduk Basrah akan perlunya kerja sama dalam mengepung para pembunuh Utsman dan meuntut darahnya dari mereka.
Saat itu pasukan dari Ali pun berangkat kesana guna melakukan ishlah dan menyatukan kalimat. Maka semua pihak berangkat ke tempat tersebut dan tidak ada seorangpun diantara mereka yang punya maksud untuk memulai peperangan atau menyulut api fitnah. Al-Qa’qa bin Amer sebagai utusan dari pihak Ali ra menemui Aisyah ra seraya bertanya: “ Wahai ibunda apakah gerangan yang mendorong kedatang ibunda ke negeri ini?. Aisyah menjawab  “ Ishlah diantara manusia”. Al-Qa’da menemui  Thalhah dan Zubair dan menyampaikan pertanyaan yang sama. Keduanya menjawab; “Kami juga demikian. kami tidak datang ketempat ini kecuali untuk melakukan ishlah diantra manusia”. Kemudian semua pihak berbicara dan berunding yang akhirnya sepakat untuk menyerahkan urusan ini kepada Ali dengan syarat supaya ia tidak segan-segan mengerahkan segenap upaya untuk menegakkan hukum Allah atas para pembunuh Utsman, jika ia telah dapat melakukannya.[3]
Kemudian Al-Qa’da kembali kepada Ali menyampaikan kesepakatan yang telah dicapai dan keinginan orang-orang untuk berdamai. Lalu Ali berpidato  di hadapan khalayak ramai seraya memuji Allah atas nikmat perdmaian dan kesepakatan yang telah dicapai. Selanjutnya Ali mengumumkan bahwa besok ia akan segera bertolak. Tetapi apa yang terjadi setelah itu?
Tidak lama setelah Ali mengumumkan terjadinya perdamaian, kesepakatan dan rencana untuk berangkat esok hari, malam itu pula para gembong fitnah pun mengadakan pertemuan. Diantara mereka terdpat Al Asytar An Nakha’i, syuraih bin Aufa, Abdullah bin saba’ yang terkenal dengan nama Ibnu Sauda’, Salim bin Tsalabah, dan Ghulam bin al-Haitsam. Alhamdulillah tak seorangpun dari kalangan sahabat yang termasuk dari kelompok mereka, sebagai mana dituturkan oleh Ibnu Katsir.
Para gembong fitnah itu membahas tentang bahaya perdamaian dan kesepakatan tersebut bagi mereka. Kesepakatan para sahabat itu merupakan bahaya dan ancaman bagi mereka. Salah seorang dari mereka mengusulkan “ jika demikian halnya, kita segera bunuh saja Ali seperti halnya Utsman”. Tetapi Abdullah bin saba’ mengecam dan menentang pendapat ini seraya berkata kepada mereka” sesunguhnya keberhasilan kalian terletak pada pergaulan kalian dengan masyarakat. Jika kalian bertemu dengan orang-orang  maka kobarkanlah peperangan dan pertempuran diantara mereka. Janganlah kalian membiarkan mereka bersatu. Orang yang ada disekitar kalian akan enggan melakuakan pertempuran demi membela dirinya”. Setelah menyepakati konspirasi ini merekapun berpencar.
Pada hari kedua, Ali berangkat kemudian diikuti oleh Thalhah dan Zubair. Sementara itu perdamaian dan kesepakatan telah dikukuhkan. Orang-orang pun menikmati malam terbaiknya, kecuali para pembunuh Utsman yang gelisah dimalam itu. Sementara Abdullah bin saba’ dan kawan-kawannya telah sepakat untuk mengorbarkan peperangan diujung malam dan menjebak orang-orang ke dalam peperangan tersebut apapun yang terjadi.
Orang-orang yang akan melakukan konspirasi jahat ini bergerak sebelum fajar jumlah mereka hampir 2000 orang. Masing-masing kelompok bergerak mendatangi kerabat mereka lalu melakukan serbuan mendadak dengan pedang-pedang mereka. Kemudian masing-masing kelompok bangkit untuk membela kaumnya. Akhirnya orang-orang bangun dari tidur mereka dengan membawa pedang seraya berkata” para penduduk Kuffah menyerang kita pada malam hari dan berkhianat kepada kita”. Mereka mengira tindakan tersebut adalah rencana busuk yang dilakukan Ali  ra. Setelah mendengar berita tentang hal ini, Ali berkata” apa yang terjadi pada masyarakat” yang berda disekitarnya berteriak “ penduduk Basrah menyerang kami dimalam hari dan berkhianat terhadap  kami” kemudian masing-masing kelompok mengambil pedang, memakai baju perang dan menunggang kuda tanpa mengetahui hakekat sebenarnya. Karena itu wajar jika kemudian secara spontan terjadi peperangan dan pertempuran.
Imam Baihaqi meriwayatkan secara bersambung, ia berkata” telah menceritakan kepada kami Abu Bakar Muhammad bin al-hasan al Qadhi, ia meriwayatkan  dengan sanadnya  dari harb bin al Aswad ad Da’uli, ia berkata” Ketika Ali dan kawan-kawannya mendekati Thalhah dan zubair dan barisan pun telah saling mendekat maka keluarlah Ali seraya menunggangn baghal Rasulullah Saw, kemudian berseru “ panggilkan saya Zubair bin Awwam”.  Setelah zubai dipanggil datanglah ia samapai tengkuk kedua tunggangannya saling bersentuhan, Ali berkata”  wahai Zubair, demi Allah, apakah engkau ingat ketika Rasulullah Saw melewatimu sedangkan kami berada ditempat ini dan itu?”. kemudian beliau bertanya” wahai zubair apakah kamu mencintai Ali?. Lalu kamu menjawab” mengapa aku tidak mencintai anak bibikku  dan anak pamanku dan bahakan seagama denganku?” kemudian nabi Saw bersabda “ wahai zubair demi Allah suatu saat engkau pasti akan memeranginya dan menzholiminya”.
Zubair menjawab” Demi Allah, aku telah lupa akan peristiwa tersebut semenjaka aku mendengarnya dari Rasulullah. Tetapi sekarang baru terigat lagi. Demi Allah aku tidak akan memerangimu untuk selama-lamanya”.  Kemudian Zubair kembali dengan menunggang kendaraaannya  membelah barisan.
Ketika onta Aisyah ra jatuh ketanah kemudian sekedupnya dibawa jauh dari medan pertempuran, Ali datang kepadanya seraya mengucapkan salam dan menanyakan keadaanya seraya berkata”  bagaimana keadaanmu wahai ibunda?” Aisyah menjawab” baik “.  Ali berekata “semoga Allah mengampunimu”. Kemudian orang-orang dan para sahabat datang seraya mengucapkan salam kepadanya dan menanyakan keselamatannya.
Imam Ahmad dalam Musnadnya meriwayatkan dari Ubaidillah dari Aisyah, “Ketika Rasulllah Saw sakit, beliau giliran dirumah Maimunah. Beliau minta izin kepada istri-istrinya agar dirawat dirumahku. Merekapun mengizinkan. Maka beliau berjalan dipapah oleh Ibnu abbas berkata kepada Ubaidillah, “Tahukah kamu siapa laki-laki yang bersamaku memapah Rasulullah? Itu adalah Ali, tetapi Aisyah tidak suka kepadanya”.
Apakah gerangan penyebab ketidaksukaan Aisyah kepada Ali sehingga ia merasa tidak senang menyebut Ali dalam kebaikan sekalipun hanya dalam memapah Rasulullah bersama Ibnu Abbas? Barangkali ini ada kaitanya dengan apa yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dalam kitab Shahihnya ketika memaparkan hadits al ifki atau berita fitnah terhadap Aisyah. Waktu itu Rasulullah meminta pandangan kepada beberapa orang dekatnya, termasuk kepada Ali bin Abi Thalib dan Usamah bin Zaid, tentang sikap yang sebaiknya diambil terhadap Aisyah. Saat itu Usamah mengatakan” tentang keluargamu, kami tidak mengetahuinya selain kebaikan”.  Sedang Ali memberikan jawaban atas pertanyaan Rasulullah dengan mengatakan “ wahai Rasulullah tidaklah Allah akan menyusahkanmu sedang wanita selain dia masih banyak.  Dan tanyakan kepada barirah mungkin ia dapat memberi keterangan yang jujur kepadamu “.  Jawaban Ali kepada Rasulullah ini nampaknya melukai perasaan Aisyah . seakan-akan Ali menyetujui isu yang sedang beredar ditengah masyarakat bahwa Aisyah telah menyeleweng dari Rasulullah  saw. Atau paling tidak Ali tidak menunjukkan pembelaannya kepada Aisyah disaat mana posisinya beserta Rasulullah benar-benar tertekan dengan berita fitnah.
Kata-kata Ali kepada Rasulullah mengenai penilaiannya atas Aisyah ini juga nampaknya diplintir kalangan penguasa Bany Umayyah di kemudian hari sebagai alat propaganda dalam menjatuhkan kredibilitas dan aksebilitas Ali  dikalangan para pengikutnya. Sebagaimana pengakuan amam al-Zuhri, tokoh hadits dari generasi tabi’in yang sangat terkemuka, bahwa ia pernah dibujuk oleh al-Walid bin Abdul Malik bin marwan  untuk menyetujui bahwa Ali termasuk orang yang memfitnah Aisyah. Tetapi Al Zuhri dengan tegas menolak dan ia mengemukakan pengakuaan Aisyah sendiri bahwa Ali tidaklah termasuk orang yang memfitnahnya yang dikecam Allah dalam al-Qur’an surat Annur ayat 11 sebagai” kelompok persengkokolan”, Ali hanyalah tidak memberi sikap pembelaan kepada Aisyah, bukan ikut memfitnahnya.[4] 
Mungkin atas dasar itu juga Aisyah dicurigai tidak mau membela Ali ketiaka ia mendengar seseorang menghina Ali dan Ammar dan Aisyah hanya membela Ammar. Alasan lain yang menjadi penyebab retaknya hubungan Ali dan Aisyah yang sering disebut-sebut para peneliti adalah bahwa Aisyah sangat cemburu kepada Khadijah. Kecemburuan Aisyah ini karena nabi sering menyebut dan memujinya di hadapan Aisyah. karena itu Aisyah melampiaskan kecemburuannya kepada Fatimah putri  nabi dari khadijah. ketika Ali menikah dengan Fatimah dan perhatian Rasul sangat besar kepada mereka berdua dan kecemburuan Aisyah pun ditumpahkan kepada mereka berdua yaitu Fatimah dan Ali. Disamping itu dikemukakan oleh penulis suara keadilan terkait perseteruan tersebut yaitu posisi Ali yang sangat dicintai dan di hormati oleh bani Hasyim dan para pendukung setianya. Dan dipandang yang palling berhak memegang pemerintahan sepeninggal Rasulullah. Sementara Aisyah sangat menginginkan kekhalifahan setelah Abu Bakar dan Umar dapat kembali kekeluarganya dari bani ta’im, yaitu Thalhah atau Zubair.[5]
Berkenaan dengan peristiwa dipapahnya Rasulullah ketika sakit menuju Rumah Aisyah oleh Ibnu Abbas dan Ali dan keengenan Aisyah untuk menyebutkan nama Ali dalam periwayatan Hadits tersebut. Diriwayatkan pula dalam al jamius shahih al-Bukhari (kitab al wudhu’  no 191) tampa ada tambahan perkataan ibnu Abbas,” tetapi Aisyah tidak suka hati kepadanya” tambahan perkata ini memang teras bias dengan pesan bahwa  Aisyah benci dan dendam terhadap khalifah Ali. Oleh karena itu tambahan perkataan pada riwayat hadits diatas tidak diambil oleh Imam Al Bukhari dalam shahihnya melainkan mencukupkan kata-kata Ibnu Abbas”  laki-laki yang seorang lagi yaitu Ali”. Mengenai riwayat Imam Ahmad bahwa Aisyah membiarkan seseorang mencela Ali dan membela Ammar, hadits inipun diragukan  keshahihannya mengingat pada sanad tersebut ada Rawi Habib bin Abi Tsabit yang meriwayatkan  dari Atha’ bin Yasir. Meskipun Habib dinilai tsiqot dan tsabit oleh sebagian Ulama Ahlul Jarhi wat Ta’dil,  namun menurut Ibnu Huzaimah ia seorang mudallis. Menurut Ibnu Qaththan Hadits Habib dari Atha’ tidak terpelihara. Dan menurut al Ukaili haditsnya dari Atha’bin   yasar tidak ada mutabi’nya.
Jadi siikap Aisyah membiarkan Ali dicaci orang tidaklah ada landasanya yang kuat. Sedang mengenai hadits Amar sebagai orang yang suka memilih keputusan yang paling bijak, diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad pada musnadnya pad no 4028 dengan sanad yang shahih dari Abdullah bin Masud.
Demikian pula tuduhan-tuduhan bahwa Aisyah menyimpan dendam kesumat kepada Ali dan Fatimah atas dasar kecemburuaanya kepada Khadijah adalah bualan-bualan kaum Syi’ah Rafidhah yang tidak berdasar. Pendek kata, tidak ada data yang akurat untuk dijadikan alasan bahwa perselisihan Aisyah dengan Ali pada masalah tuntutan qishash atas pembunuhan Usman dilatar belakangangi sentimen pribadi, memang tidak dapat dipungkiri adanya berita-berita sejarah telah menceritakan apa adanya kerenggangan hubungan personal antara Ali dengan Aisyah jauh sebelum peristiwa terbunuhnya Utsman yang disebabkan perselisihan pendapat antara Abu Bakar dengan Fatimah putri Rasulullah mengenai tanah Fadak yang diwakafkan untuk kaum muslimin, dan mengenai saran Ali kepada Rasulullah ketika dimintai pendapatnya tentang tuduhan orang orang kepada Aisyah pada peristiwa haditsul al-ifki. Mungkin saja kekurang harmonisan hubungan ini telah ikut mempengaruhi keberpihakan Aisyah kepada kelompok oposisi.
Tetapi untuk mengambil kesimpulan bahwa sentimen pribadi di antara mereka itu merupakan alasan utama Aisyah menentang Ali sungguh terlalu naif. Sebab tidaklah mungkin Aisyah dengan kedudukanya sebagai pribadi yang agung istri Nabi dan Ibu bagi kaum Mukminin akan menempuh cara tercela hanya karena sakit hati.  Lagi pula tidak mungkin beliau mendapat dukungan yang cukup besar dari beberapa suku Arab jika tidak ada alasan logis yang lebih kuat dan lebih menyakinkan mereka dari sekedar memenuhi dendam kesumat pribadi yang tidak benar.[6]
..........Pada subuh itu pasukan Aisyah melaporkan tentang situasi dan menyarankan agar ia naik unta yang tertutup sehingga diharapkan suasananya bisa diredakan. Tetapi yang terjadi sebaliknya, penduduk  Basrah mengira Aisyah datang kemedan perang untuk memerangi mereka. Sementara itu pertempuran berlangsung Ali memanggil Thalhah dan Zubair dan mengajak mereka berbicara.” Bukankah kalian sudah membaiat saya?”  Tanya Ali setelah mereka berdua datanng menghadapnya. “ kami membaiat anda terpaksa, dan untuk itu anda tidak lebih berhak dari kami,” jawab mereka. Ali seperti tak sadar sejenak,  kemudian tersentak” bukankah saya saudara kalian seagama, darah saya haram bagai kalian dan darah kalaian haram bagi saya? Adakah hal yang akan membuat darahku menjadi halal?”  yang sedang menantikan adalah darah Utsman” kata Thalhah..... [7]

Jawaban:                                                                                                                                     
..........Padahal dalam sejarah dikemukakan bahwa ‘Aisyah ra. Keluar bersama Tholhah dan Zubai bin Al-Awam ke Basharah dalam rangka untuk menegakkan hukum Qishosh terhadap para pembunuh Utsman bin Affan. Hanya saja Ali bin Abi Thalib meminta penundaan untuk menunaikan permintaan qishos tersebut. Ini semua mereka lakukan berdasarkan ijtihad.
Tawaran Ali kepada Aisya tersebut semata-mata hanya untuk menyatukan cara pandang bahwa hukum qishos baru bisa ditegakkan setelah keadaan Negara tenang. Beliaupun sangat mengetahui bahwa ‘Aisyah ra. Bersama Thalhah dan Zubair datang ke Bashrah tidak dalam rangka memberontak kekhalifahannya. Karena mereka hampir membentuk kesepakatan bersama. Akan tetapi melihat keadaan seperti ini, beberapa kaum Saba’iyah (pengikut faham Abdullah bin Saba) mulai memancing konflik diantara pasukan ‘Aisyah dan pasukan Ali. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa salah satu pasukan telah berkhianat. Maka terjadilah perang jamal.
Hubungan antara Ali dan ‘Aisyah tak seburuk apa yang dikatakan oleh Syi’ah. At-Thabari meriwayatkan, bahwa disaat perang jamal, Sayyidina Ali pernah berkata, “ Wahai kaum Muslimin! Dia (Aisyah) adalah seorang yang jujur dan demi Allah dia adalah orang yang baik. Sesungguhnya tidak ada diantara kami dengan dia kecuali yang demikian itu. Dan dia adalah istri Nabi kalian di dunia dan di Akhirat. Ummul Mu’minin menerima bahkan memerintahkan kamu Muslimin untuk berbai’at kepada Sayidina Ali bin Abi Thalib.[8] 

Kesimpulan
Perang jamal terjadi sebagai akibat dari perbedaan pendapat orang-orang pada masa itu tentang penuntutan balas atas terbunuhnya Utsman dan pendapat Ali yang lebih mendahulukan untuk menata kembali negara yang telah berpecah setelah terjadinya fitnah.
Para Ulama sepakat bahwa Ali berada pada posisi yang benar. akan tetapi telah banyak riwayat yang meriwayatkan bahwa Aisyah dan para sahabat lainnya yang menentang Ali telah bertaubat setelah itu. dan para ulama melarang kita untuk menyalahkan salah satu dari mereka karena mereka adalah para sahabat Nabi -sholallahu 'alaihi wasallam- dan mereka telah bertaubat. dan karena sulitnya keadaan waktu itu, karena fitnah sedang menyebar diantara mereka. Wallahu A’lam bish-as-Shawwab.
Jakarta, Medio Dzulhijjah 1431.



Maraji’:
1.      .Muhammad Amhazun, Fitnah Kubro, Jakarta:, LP2SI Al-Haramain, terj Daud Rasyid, 1994.
2.      .M Said Ramadhan Al-Buthy, Fiqhu ‘s-Sirah, Dirasat Manhajiah ‘Ilmiah Li Sirati ‘-Mustafa ‘alaihi ‘s-Shalatu wa’s- Shalam, (terj: Aunur Rafiq Shaleh Tamhid)Rabbani Press
3.      .Jeje Zaenuddin Abu Himam,  Akar Konflik Ummat Islam; Sebuah Pelajaran Dari Konflik Politik Pada Zaman Shabat, Bandung ; Persis Pers, Cet ke 1, 2008
4.      Ali Audah, Ali bin Abi Thalib Sampai kepada Hasan dan Husain, Bogor: PT Pustaka Litera Antar Nusa, cet ke-1 , 2003.
5.      Ahmad Quyairi, Mungkinkah Sunnah& Syi’ah Dalam Ukhuwah? Jawaban Atas Buku DR Quraish Shihab (Sunnah-Syi’ah Bergandengan Tangan Mungkinkah), Jawa Timur: Pustaka Sidogiri, cet ke-2, 2008.


[1] . Perang jamal terjadi sebagai akibat dari perbedaan pendapat orang-orang pada masa itu tentang penuntutan balas atas terbunuhnya Utsman dan pendapat Ali yang lebih mendahulukan untuk menata kembali negara yang telah berpecah setelah terjadinya fitnah. Sebelum membahas tentang tragedi jamal, alangkah baiknya kita mengetahui apa yang dikatakan Rosulullah -sholallahu 'alaihi wasallam- jauh hari ketika beliau masih hidup tentang akan terjadinya tragedi itu. Dan para ulama telah banyak menjelaskan tentang hal itu.  Diantaranya sabda Rosulullah -sholallahu 'alaihi wasallam- :
لَا تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَقْتَتِلَ فِئَتَانِ دَعْوَاهُمَا وَاحِدَةٌ Artinya : "Tidaklah terjadi kiamat itu sampai berperangnya dua kelompok besar dan dakwa (seruan) mereka satu." (HR Bukhori dan Muslim). Itulah salah satu tanda kecil kiamat kubro yang diprediksikan Rosulullah -sholallahu 'alaihi wasallam-, bahwa akan terjadi peperangan antara 2 kelompok muslim. dan itu terjadi pada perang jamal dan perang siffin.
[2] . Abul A’la al Maududi, Khilafah dan Kerajaan; Evaluasi Kritis atas Sejarah Pemerintahan Islam, Bandung: Mizan, cet 1, 1984. hal
[3] .M Said Ramadhan Al-Buthy, Fiqhu ‘s-Sirah, Dirasat Manhajiah ‘Ilmiah Li Sirati ‘-Mustafa ‘alaihi ‘s-Shalatu wa’s- Shalam, (terj: Aunur Rafiq Shaleh Tamhid), hal 402 1995 Jakarta: Rabbabni Press
[4] George Jordac, Suara Keadilan dalam Jeje Zaenuddin Abu Himam, Akar Konflik Ummat Islam, Bandung: Persis Pers, Cet ke 1, 2008, hal 111
[5] . Jeje Zaenuddin Abu Himam, Op. Cit., hal 110
[6] . Ibid, hal 110-113.
[7] . Ali Audah, Ali bin Abi Tholib sampai kepada Hasan dan Husain, Bogor: PT Pustaka Litera Antar Nusa, cet ke-1 , 2003, hal274
[8] . Ahmad Quyairi, Mungkinkah Sunnah& Syi’ah Dalam Ukhuwah? Jawaban Atas Buku DR Quraish Shihab (Sunnah-Syi’ah Bergandengan Tangan Mungkinkah), Jawa Timur: Pustaka Sidogiri, cet ke-2, 2008, hal 403-404.

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | free samples without surveys